Assalaamu'alaykum wa rahmatullaahi wa barakaatuh...

Thursday, March 27, 2008

Keikhlasan

“Ikhlaskan Niat!!!!”.

Sekitar sepekan yang lalu saya membaca sebaris kata itu pada sebuah blog milik seorang ukhti di Depok. Sangat sederhana, namun cukup membuat hati ini bergetar. Ikhlas, sebuah kata yang simple tapi maknanya tak sesimple susunan hurufnya. Ikhlas, sebuah perbuatan hati yang bagi saya sangat berat.

Lisan ini mungkin sering berkata, “Insya ALLAH aku ikhlas menerima ini.” atau “Ikhlasin aja lah…, cuma gitu aja, koq!” atau “Iya, GPP! Aku ikhlas…!”. Akal ini pun (karena mengetahui keutamaan ikhlas) sering kali berfikir, “Yaudahlah, ikhlas!” atau “Jalani semua ini dengan ikhlas!”.

Namun…. benarkah hati ini telah ikhlas?

Sebuah pertanyaan klasik yang sampai sekarang sering tak terjawab. Parahnya, kadang kala hati ini menjawab dengan kata “Tidak”. Entah kenapa hati ini susah dibuat ikhlas. Terkadang, muncul pikiran nakal, “Apakah ikhlas itu memang sungguh berat dan di luar kemampuanku?” Tapi… jika difikirkan kembali, apakah mungkin ALLAH dan Rasul - NYA memerintahkan kita untuk ikhlas jika memang itu berada di luar kemampuan kita? Bukankah ALLAH adalah Sang Pencipta kita? Bukankah DIA sangat mengetahui batas kemampuan kita? Bukankah DIA adalah Sang Maha Bijaksana? DIA tidak mungkin memerintahkan sesuatu yang berada di luar batas kemampuan manusia!

Jika demikian, berarti sebenarnya saya pun mampu untuk ikhlas. Tapi… kenapa terkadang sangat sulit untuk ikhlas? Apakah itu berarti diri ini yang lemah? Mungkin itu jawabnya.

Lalu bagaimana membuat diri ini cukup kuat untuk selalu ikhlas?

Perbanyak tsaqafah Islam untuk mempertebal ketaqwaan mungkin adalah solusinya. Kawan, bantu saya menjaga ghirah mengkaji Islam ini ya…! Agar diri ini semakin bertaqwa. Aamiin.


Semarang, March 27 2008
12.31 p.m
Haafizhah Kurniasih

Kampus Kita Terjajah!!!

Sifat dasar setiap ideology adalah ingin tetap eksis dan dianut oleh seluruh penduduk dunia. Begitu pun dengan ideology Kapitalisme yang diemban oleh Barat dan kini tengah menguasai dunia bahkan telah berhasil membuat sebagian besar penduduk dunia mengagung � agungkannya. Namun, itu saja belum cukup bagi Barat, sang pengusung ideology busuk ini. Barat akan selalu berusaha mengokohkan cengkeramannya di seluruh penjuru dunia, bahkan menguasainya (begitulah sifat dasar Kapitalisme yang selalu bernafsu untuk menjajah). Barat seolah tak pernah rela sejengkal pun wilayah �jajahan�-nya lepas dari cengkeramannya karena hal itu berarti Barat tak bisa lagi menguras sumber daya di wilayah itu. Maka, mereka pun melakukan untuk mempertahankan setiap jengkal wilayah jajahannya. Mereka tak akan pernah membiarkan seorang pun berusaha melepaskan wilayahnya dari cengkeraman Barat.
Barat menyadari bahwa kampus adalah sarang para intelektual. Di sana lah besar kemungkinan lahir para intelektual yang sadar akan penjajahan Barat atas negerinya. Maka, Barat pun berusaha menjajah dan menguasai kampus untuk mencegah tumbuhnya kesadaran itu pada diri para intelektual. Cara yang mereka lakukan pun beragam, mulai dari merekayasa kurikulum, biaya pendidikan yang mahal, hingga penawaran bea siswa ke luar negeri.

Kurikulum
Jika kita perhatikan, kurikulum pendidikan kita (sejak SD hingga perguruan tinggi) telah dibuat sedemikian rupa untuk membuat kita merasa bahwa Sekulerisme�ide dasar Kapitalisme�adalah sesuatu yang benar. Bisa kita rasakan bahwa sejak kita SD, kita tidak pernah diajari bahwa ilmu agama adalah dasar bagi ilmu �duniawi�, kita tidak diajari bahwa ilmu agama dan ilmu �duniawi� saling melengkapi, saling membutuhkan. Akan tetapi, kita diajarkan bahwa pendidikan agama selalu terpisah dari pendidikan �duniawi�. Kurikulum seperti ini mereka rancang karena mereka sadar bahwa jika masyarakat memegang teguh agamanya dan mengaitkan semua perbuatannya pada aturan agamanya, maka masyarakat akan sadar bahwa Kapitalisme adalah ideology yang rusak. Apalagi agama terbesar di negeri ini adalah Islam, agama yang tak sekadar agama ritual, tetapi juga ideology. Ditambah lagi, Barat sadar bahwa saat ini Islam-lah satu � satunya ideology yang berpotensi untuk mengalahkan mereka setelah Sosialisme � Komunisme telah mereka tumbangkan sebelumnya.

Sehingga, kita pun harus melaksanakan kurikulum yang sama sekali memisahkan nilai � nilai agama dalam pendidikan kita. Ketika kita berada di MIPA, kita diajari tentang berbagai fenomena alam tetapi kita tak pernah dibuat sadar akan kaitan semua itu dengan Sang Pencipta. Pola pengajaran yang dilakukan seolah � olah menanamkan di pikiran kita bahwa semua itu berjalan dengan sendirinya, tak ada kaitannya dengan Pencipta. Akhirnya, secara tidak sadar telah tertanam di pikiran kita masing � masing pendangan bahwa sekolah adalah tempatnya ilmu �duniawi�, bukan tempatnya berbicara tentang ilmu agama�padahal seharusnya ilmu agama layak dibicarakan di mana pun berada karena ilmu agama adalah dasar dari segala ilmu�. Karena pandangan seperti itu, maka yang dianggap sebagai �bintang� di dunia pendidikan adalah mereka yang mampu menguasai berbagai ilmu �duniawi� tanpa peduli apakah ia mampu mengaitkannya dengan keberadaan Sang Pencipta apalagi dengan perintah da larangan Sang Pencipta atau tidak. Maka, tidak jarang kampus hanya melahirkan intelektual � intelektual yang �kering�, intelektual � intelektual yang tidak mampu mengamalkan ilmu yang diperolehnya sesuai dengan aturan Sang Pencipta (bagaimana mereka bisa mengamalkannya sesuai aturan Sang Pencipta? Wong, bagaimana aturan Sang Pencipta saja mereka tidak tahu?). Akhirnya, semakin kokohlah Sekularisme tertanam di benak masyarakat yang berarti semakin kokoh pula Kapitalisme.

Biaya Pendidikan yang Tinggi
Rupanya para pengusung Kapitalisme itu sadar, pengaturan kurikulum saja tidak cukup untuk memberangus bibit � bibit yang mengancam keberadaan Kapitalisme. Jika hanya dengan kurikulum saja, masih mungkin lahir orang � orang yang tidak puas, lalu mencari ilmu yang lain, kemudian berusaha menyebarkan ilmu yang ia dapat itu sambil tetap kuliah. Maka para pengusung Kapitalisme itu pun merancang agar biaya pendidikan itu menjadi sangat mahal. Perpaduan antara kurikulum yang sekuler dan biaya pendidikan yang tinggi akan membuat banyak mahasiswa harus memilih antara terfokus pada kuliahnya (yang hanya mempelajari ilmu �duniawi� tanpa peduli terhadap kaitannya dengan aturan Sang Pencipta) atau terfokus pada ilmu yang tidak diajarkan dalam kuliahnya (memang ada mahasiswa yang berusaha seimbang dalam kedua hal tersebut. Mereka berusaha untuk menjaga prestasi akademiknya sambil tetap mencari ilmu yang lain dan menyebarluaskannya. Tetapi jumlah mereka sangat sedikit, hanya mereka yang mempu mengarur waktunya dengan baiklah yang dapat melakukannya).

Sebagian besar mahasiswa akan memilih untuk terfokus pada kuliahnya (study oriented) dan melupakan ilmu di luar kuliahnya karena dihadapkan pada kenyataan bahwa untuk dapat bertahan hidup layak diperlukan uang yang tidak sedikit dan sering kali ijazah menjadi sangat berarti untuk mendapatkan uang itu. Akhirnya, mereka pun hanya terfokus untuk segera lulus agar ia tidak harus mengeluarkan biaya lebih banyak lagi dan merasa sangat sayang meluangkan waktunya untuk mencari ilmu yang lain (misal ilmu agama, perbandingan ideology, dll) atau beraktivitas yang lain (misal berdakwah, menyadarkan masyarakat akan bahaya Kapitalisme, dll). Akhirnya, mereka pun tak akan pernah menyadari betapa busuknya Kapitalisme dan betapa jahatnya para pengusung Kapitalisme yang selalu bernafsu untuk menjajah. Bahkan, bukan tidak mungkin akhirnya mereka pun menjadi bagian dari pengusung Kapitalisme.

Dampak lain dari perpaduan antara kurikulum sekuler dan biaya pendidikan yang tinggi adalah lahirnya mahasiswa yang hanya peduli pada dirinya sendiri tanpa peduli lingkungannya. Bagi mereka, yang penting mereka bisa hidup nyaman, cepat lulus tak peduli orang lain seperti apa. Mereka tidak tertarik pada dakwah (padahal dakwah adalah kewajiban bagi setiap Muslim), tidak tertarik pada organisasi dan aktivitas sosial, bahkan tidak peduli pada orang lain. Menurut mereka, �Untuk apa capek � capek berdakwah, berorganisasi, tidak membuatku cepet lulus bahkan tidak memberikan keuntungan apa � apa untukku!�. Penulis berani mengungkapkan ini karena memang terjadi hal yang demikian. Penulis pernah terlibat diskusi dengan seseorang (sebut saja Xxx), di akhir diskusi kami dia menyatakan (kurang lebih) �Buat aku sih yang penting aku ga terusik. Masa bodoh orang lain mau kayak gimana!�. Saat itu, penulis masih belum terlalu paham maksud dari kata � katanya tersebut. Namun, pada waktu yang lain kami menonton sebua berita criminal tentang seorang TKW yang disiksa majikannya dengan tidak manusiawi. Seorang teman kami berkata, �Ya� ALLAH Xxx, mesakke (kasihan�pen) banget ya?!� kemudian Xxx menjawab �Jarke lah, Mba! Dudu aku ikih!� (�Biarkan sajalah, Mba! Toh bukan aku!��pen). Astaghfirullaah�ternyata itu maksud perkataannya tempo dulu �Buat aku sih yang penting aku ga terusik. Masa bodoh orang lain mau kayak gimana!�.

Orang � orang seperti Xxx inilah yang diinginkan oleh para Kapitalis itu ada di tubuh kaum Muslimin. Orang � orang yang individualis. Orang � orang yang tidak peduli pada orang lain. Orang � orang yang tidak peduli orang lain dirampok, ditindas, digusur, atau dibunuh tanpa alasan yang dibenarkan sekali pun. Dengan banyaknya orang seperti itu, maka mereka akan semakin leluasa untuk menjajah negeri ini, merampok kekayaan negeri ini karena penduduknya tidak peduli, yang penting ia baik � baik saja!

Akhirnya, mahasiswa yang memilih untuk terfokus pada kuliahnya akan terbagi menjadi 2 golongan: yang hanya memikirkan dirinya sendiri tanpa peduli pada lingkungannya sama sekali dan yang akhirnya terjebak dalam Kapitalisme � Sekulerisme bahkan menjadi pengusungnya.

Sementara mereka yang memilih untuk menunaikan kewajibannya menuntut ilmu agama dan menyebarluaskannya dihadapkan pada kenyataan bahwa tidak banyak teman seperjuangan mereka yang berarti tugas mereka semakin berat. Mereka harus mengatur waktu dan energi mereka sedemikian rupa agar kuliah dan kewajiban mereka yang lain tertunaikan dengan baik. Beban mereka bertambah berat karena tidak banyak yang merespon positif aktivitas mereka, bahkan tidak sedikit yang mencemooh aktivitas mereka. Ketika mereka menyuarakan busuknya Kapitalisme, buruknya Sekulerime, dan indahnya hidup dengan aturan agama, mereka berhadapan dengan orang � orang yang dianggap �bintang� di kampus (para mahasiswa yang study oriented) yang menjadi pembela Kapitalisme, mengagungkan Sekulerisme dan mengkampanyekan agar agama tidak perlu dibawa � bawa ke ruang publik.

Ketika terjadi perang ide antara yang pro Kapitalisme dan anti Kapitalisme, kemungkinan besar peperangan akan dimenangkan oleh yang pro Kapitalisme karena ide ini disuarakan oleh orang � orang yang dianggap �bintang�, orang � orang yang dianggap cerdas. Masyarakat pun akan termakan oleh kata � kata mereka. Masyarakat akan berfikir, �Orang � orang yang pinter saja setuju dengan Kapitalisme � Sekulerisme, berarti ide itu memang bagus. Yang bilang Kapitalisme buruk itu kan hanya orang � orang biasa. Mungkin mereka belum tahu seperti apa Kapitalisme itu sebenarnya��. Akhirnya, masyarakat mendukung Kapitalisme � Sekulerisme. Maka, semakin kokohlah cengkeraman para penjajah Kapitalis di negeri ini.

Bea Siswa Ke Luar Negeri
Ketika rekayasa kurikulum dan biaya pendidikan yang tinggi tidak berhasil memberangus semua yang anti Kapitalisme dan masih ada mahasiswa yang mampu menjaga prestasi akademiknya dan tetap menunaikan kewajibannya mempelajari ilmu yang lain lalu aktif di berbagai organisasi untuk menyebarluaskannya, para pengusung Kapitalisme pun menawarkan bea siswa kepada mereka dengan kemasan �bea siswa aktivis�. Para aktivis itu ditawari bea siswa untuk melanjutkan pendidikannya di luar negeri, khususnya di negeri para Kapitalis. Nantinya, di sana otak mereka dicuci hingga mereka lupa dengan idealisme yang dulu mereka pegang, lupa pada apa yang dulu mereka teriakkan hingga akhirnya mereka pun berubah 180 derajat menjadi pendukung bahkan pengusung Kapitalisme. Bisa kita saksikan faktanya betapa banyak para aktivis yang setelah �dididik� di negeri para Kapitalis itu mereka malah menjadi pendukung bahkan pengusung Kapitalisme. Maka, semakin kuatlah cengkeraman Kapitalisme di negeri ini karena ide Kapitalisme ini tidak hanya diusung oleh Barat tetapi oleh kaum Muslimin sendiri (tentu kaum Muslimin yang telah dicuci otaknya sehingga lupa pada ajaran agamanya).

Pilihan Ada di Tangan Kita!
Sekarang telah terungkap berbagai upaya yang dilakukan para Kapitalis untuk mengokohkan cengkeramannya di negeri kita. Telah terungkap pula apa yang mereka lakukan di kampus kita untuk membuat kita dan teman � teman kita terperangkap dalam Kapitalisme � Sekulerisme dan melupakan ajaran agama kita. Pilihan ada di tangan kita, Kawan! Apakah kita hanya akan berdiam diri menyaksikan semua ini, ikut terbawa arus Kapitalisme � Sekulerisme atau ikut bergerak bersama mereka yang ikhlas menyadarkan masyarakat tentang kebusukan Kapitalisme � Sekulerisme? Akan menjadi mahasiswa study oriented yang tidak peduli pada apa yang terjadi atau menjadi mahasiswa berprestasi yang tetap peduli pada lingkungan dan aturan Sang Pencipta? Tetapkanlah pilihan, Kawan! Pilih dengan hati nurani!

Tegal, February 26, 2008
19 Shafar 1429
Selasa 01.42 pm
Haafizhah Kurniasih

Koruptor = Korban Politik?

Banyak pelaku korupsi mengaku bahwa dirinya hanyalah korban politik ketika kasusnya terbongkar. Mereka mengaku bahwa “tuduhan” keterlibatan mereka dalam berbagai kasus korupsi merupakan bagian dari upaya penguasa untuk menyingkirkan rival – rival politiknya atau sebagai tindak balas dendam. Kinerja KPK pun dinilai sangat bergantung pada ada atau tidaknya tekanan politik yang memaksanya mengusut kasus dugaan korupsi.
Penyebab Korupsi

Terjadinya banyak kasus korupsi di negeri tidak terlepas dari pengaruh ideology yang dianut serta buruknya sistem dan aturan yang diterapkan. Apa kaitan antara ideology dan korupsi?
Diakui atau tidak, negeri ini telah lama menganut Kapitalisme sebagai ideologinya. Dalam pandangan ideolgi Kapitalisme ini, kekayaan materi adalah segalanya. Ukuran kebahagiaan pun ditentukan dari banyaknya materi (harta) yang terkumpul. Karena bahagia berarti memiliki banyak materi (harta), maka orang pun akan berlomba – lomba untuk mengumpulkan harta sebanyak – banyaknya. Ditambah lagi, Kapitalisme selalu bergandengan erat dengan Secularism, yaitu paham yang memisahkan agama dari kehidupan. Dalam paham ini, agama boleh ada tetapi tidak boleh digunakan untuk mengatur urusan yang terkait dengan kehidupan dunia, misalnya cara memperoleh dan mempergunakan harta, sistem pendidikan, dst. Karena agama telah dipisahkan dari kehidupan dunia—yang berarti tidak ada halal – haram dalam kehidupan dunia (termasuk mencari harta)—, maka orang – orang pun akan semakin berlomba – lomba mengumpulkan harta tanpa peduli pada aturan agama. Pengabaian terhadap aturan agama ini, nantinya akan melahirkan pengabaian nilai – nilai yang lain, termasuk moral. Akhirnya, segala cara pun ditempuh untuk mengumpulkan harta sebanyak – banyaknya, termasuk korupsi, penipuan, dll.

Buruknya ideology yang dianut diperparah dengan sistem aturan yang diterapkan, yaitu demokrasi. Sebagaimana diketahui bersama bahwa asas demokrasi adalah kedaulatan berada di tangan rakyat. Hal ini berarti kehendak rakyatlah yang harus dituruti. Telah jamak bahwa kehendak rakyat selalu diterjemahkan dengan suara mayoritas rakyat. Dalam hal menentukan penguasa pun, suara mayoritas rakyatlah yang dijadikan acuan. Aturan inilah yang berlaku dalam pemilu. Sehingga, untuk bisa terpilih menjadi penguasa negeri ini, harus memenangkan suara mayoritas rakyat. Dan parahnya, rakyat kita telah silau pada materi (karena pengaruh ideology Kapitalisme yang dianutnya) sehingga rakyat cenderung memilih orang yang memberikan keuntungan materi padanya. Akhirnya, muncullah money politic. Akibat money politic ini, maka siapa pun yang ingin berkuasa di negeri ini harus mengeluarkan cukup modal untuk “membeli” suara rakyat.

Karena untuk menduduki kursi kekuasaan diperluka modal yang besar, maka ketika seseorang berkuasa ia akan berfikir bagaimana agar modal yang ia keluarkan segera kembali. Akhirnya, ia tidak lagi memikirkan kesejahteraan rakyat, apalagi kemajuan negeri. Yang ia pikirkan adalah bagaiaana ia dapat mengumpulkan harta sebanyak – banyaknya. Karena ia seorang penganut Kapitalisme yang “bersahabat” erat dengan Sekularisme, maka ia pun akan menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya, termasuk korupsi. Maka wajar jika kasus korupsi semakin merajalela dan pelakunya sama sekali tidak merasa bersalah karena memang begi mereka segalanya adalah halal. Bahkan, ketika kasus itu mencuat ke permukaan dan mereka harus diseret ke pengadilan, mereka menganggap bahwa mereka adalah korban politik—seperti yang diungkapkan dalam Suara Merdeka edisi Sabtu, 17 November 2007—, lebih tepatnya korban penguasa.

Kenapa dikatakan wajar? Karena siapa pun yang berkuasa selama ideology yang dianut masih Kapitalisme dan sistemnya adalah demokrasi, maka yang ia pikirkan adalah bagaimana ia bisa mengumpulkan materi sebanyak – banyaknya tanpa peduli pada halal – haram. Sehingga korupsi pun akan ia lakukan. Di sisi lain, rakyat mulai merasakan akibat buruk dari korupsi yang dilakukan penguasa sehingga rakyat menuntut agar penguasa mengusut tuntas kasus korupsi. Bagai mana mungkin seorang penguasa akan mengusut tuntas kasus korupsi jika ia terlibat di dalamnya? Maka, untuk membodohi rakyat, mereka mengusut kasus korupsi yang dilakukan oleh orang – orang yang sudah tidak lagi berkuasa atau yang dilakukan oleh rival – rival politiknya.

Sehingga, selama Kapitalisme dan Demokrasi masih diterapkan di negeri ini, korupsi dan berbagai penyelewengan lainnya akan terus ada.

Solusi Islam
Keadaan ini—insya ALLAH—tidak akan terjadi jika ideology yang dianut negeri ini adalah Islam dan sistem aturan yang diterapkan pun sistem Islam. Kenapa?
Dalam ideology Islam, ukuran kebahagian bukanlah banyaknya materi yang terkumpul—seperti dalam Kapitalisme—melainkan tercapainya ridha ALLAH. Maka, penganut ideology Islam tidak akan berlomba – lomba mengumpulkan materi sebanyak – banyaknya dengan segala cara, tetapi akan berlomba – lomba untuk menggapai ridha ALLAH dan ridha ALLAH tidak akan didapat kecuali dengan melaksanakan syariah – NYA (syariah Islam) dengan penuh keimanan dan keikhlasan. Mungkin ada yang bertanya “apakah ada jaminan jika syariah Islam dilaksanakan tidak akan memicu terjadinya korupsi dan tindakan buruk lainnya?”

Insya ALLAH jika negeri menganut ideology Islam—yang menyandarkan segala sesuatunya pada halal dan haram menurut syariah—dan menerapkan syariah Islam kemungkinan terjadinya korupsi atau tindak penelewengan lainnya sangat kecil. Karena syariah Islam adalah syariah (aturan) yang datang dari Sang Pencipta segala sesuatu. Syariah yang datang dari Dzat Yang Mengetahui segala sesuatu, termasuk potensi jahat yang ada pada diri manusia. Sehingga, di dalamnya telah ada upaya pencegahan dari tindak penyelewengan yang mungkin dilakukan manusia. Misalnya dengan diberikan sanksi yang tegas pada kasus pencurian yang melebihi ¼ dinar (1 dinar setara dengan 4,25 gram emas murni) dengan alsan yang tidak bisa ditoleransi—yaitu potong tangan—. Hal ini akan menimbulkan efek jera bagi pelakunya dan menimbulkan efek takut melakukannya bagi orang lain.

Selain itu, pencegahan juga dilakukan dengan imbalan surga bagi orang – orang yang melaksanakannya dengan baik dan ancaman siksa neraka bagi para pelanggarnya. Sepintas, mungkin imbalan surga dan ancaman neraka adalah sesuatu yang bisa dianggap angin lalu. Benar, surga dan neraka bisa dianggap angin lalu bagi mereka yang tidak menganut ideology Islam. Tetapi bagi penganut ideology Islam, janji imbalan surga adalah sesuatu yang sangat diimpikan sehingga akan mendorong penganut ideology Islam ini untuk sekuat tenaga untuk meraihnya dengan melaksanakan syariah Islam. Sementara ancaman siksa neraka adalah sesuatu yang sangat mengetarkan dan menakutkan sehingga para penganut ideology Islam akan berusaha sampai tetes darah penghabisan untuk menghindarinya. Kedua hal ini akan mendorong para penganut ideology Islam untuk menerapkan syariah Islam dengan sebaik – baiknya dengan harapan tercapainya ridha ALLAH—itulah kebahagian menurut para penganut ideology Islam—yang berujung pada nikmatnya surga dan terhindar dari siksa neraka.

(Mohon maaf, detil syariah Islam tidak bisa penulis paparkan di sini karena akan terlalu panjang. Pembaca bisa merujuk pada kitab – kitab fiqh Islam untuk mengetahuilebih detil bagaimana Islam mengatur kehidupan ummatnya)

Sementara itu, sistem Islam berbeda dengan sistem Demokrasi. Dalam sistem Islam, kekuasaan memang berada di tangan rakyat, tetapi kedaulatan ada di tangan syara’ (syariah). Artinya, kehendak rakyat bukanlah segala – galanya. Kehendak rakyat tidak harus dituruti jika kehendak itu bertentangan dengan al – Quran, as – Sunnah, serta apa – apa yang ditunjuk oleh keduanya untuk diikuti. Sehingga, dalam penentuan penguasa (pejabat negara) pun, yang dijadikan tolok ukur bukanlah suara mayoritas, melainkan kemampuan dan keshalihan seseorang. Pemilu memang boleh dilaksanakan, tetapi kalau pun dilakukan pemilu—insya ALLAH—tidak akan terjadi money politic karena rakyat tidak silau pada harta. Dan orang – orang pun tidak akan berebut kursi jabatan karena mereka sadar bahwa jabatan adalah suatu amanah yang akan dimintai pertanggungjawabannya kelak di akhirat. Jabatan tidak dianggap sebagai sesuatu yang membanggakan atau ladang untuk meraup materi—seperti anggapan para penganut ideology selain Islam—. Sehingga, ketika menjabat, yang ia pikirkan adalah bagaimana agar ia dapat melaksakan amanah yang ia emban sebaik – baiknya sehingga ia dapat mempertangungjawabkannya kelak di akhirat, bukan memikirkan bagaimana agar “modal” yang ia keluarkan dalam pemilu segera kembali. Akhirnya, ia terhindar dari korupsi serta tindak penyelewengan lainnya dan rakyat pun menjadi sejahtera karena penguasanya amanah.

Inilah indahnya Islam. Dan ini bukanlah khayalan atau konsep yang belum pernah terlaksana. Hal ini benar – benar telah terlaksana selama belasan abad sejak Rasulullah shalallahu ‘alaihu wa salam mendirikan Negara Madinah hingga berakhirnya kekhilafahan Islam di Turki pada tahun 1924 M. Pembaca bisa merujuk pada sejarah dunia Islam yang ditulis secara jujur untuk mengetahui bagaimana indahnya kehidupan masyarakat yang menganut ideology Islam dan menerapkan aturan Islam.

Tidakkah kita ingin merasakan kembali keindahan itu?
Belum tergerakkah hati kita untuk segera menerapkan Islam?


Ditulis
Semarang, January 19, 2008
10 Muharram 1429

Direvisi
Tegal, February 21, 2008
14 Shafar 1429

Haafizhah Kurniasih