Assalaamu'alaykum wa rahmatullaahi wa barakaatuh...

Thursday, April 17, 2008

Da’wah Lewat Film, Efektifkah?

Belakangan ini cara da’wah lewat film mulai banyak dilirik para aktivis da’wah di Indonesia. Kesuksesan film Ayat – Ayat Cinta (AAC) menyedot perhatian seluruh lapisan masyarakat (termasuk presiden dan para petinggi negeri ini lainnya) membuat sebagian aktivis da’wah tertarik untuk turut berda’wah melalui film. Menyusul AAC, kini telah dirilis “film da’wah” Kun Fa Yakun (KFY) dan kabarnya karya best seller Kang Abik lainnya, Ketika Cinta Bertasbih (KCB) pun akan segera difilmkan. Menurut mereka yang tertarik untuk berda’wah melalui film, melalui film, nasihat dapat disampaikan tanpa terkesan menggurui.

Benarkah berda’wah lewat film adalah langkah yang tepat? Sejauh mana afektivitas film untuk berda’wah?

Berda’wah Lewat Film BUKAN Langkah yang Tepat! Why?
1. Tujuan Tak Boleh Menghalalkan Semua Cara
Harus diakui bahwa tujuan mereka yang turut membidani lahirnya berbagai “film da’wah” adalah baik. Bagaimana mungkin dikatakan tujuannya tidak baik jika tujuan mereka adalah untuk mensosialisasikan Islam kepada masyarakat, bagian dari da’wah, amar ma’ruf nahyi munkar? Tentu saja, ini merupakan tujuan yang mulia. Namun, harus diingat bahwa da’wah adalah ibadah. Bukankah ibadah harus dilakukan dengan cara – cara yang benar? Cara yang syar’ie, cara yang dicontohkan oleh Rasulullah. Bukankah amal hanya akan diterima jika tujuan (niat) dan cara yang ditempuh, keduanya benar?
Mungkin masalah ini bisa dianalogikan dengan seseorang yang menyantuni fakir – miskin dengan harta hasil curian. Bukankah tujuannya (dalam hal ini menyantuni fakir – miskin) adalah hal yang baik, bahkan diperintahkan ALLAH dan Rasul – NYA? Namun, cara yang ia lakukan (yaitu mencuri untuk mendapatkan harta yang akan disedekahkan) adalah cara yang haram. Apakah tindakannya ini (menyantuni fakir – miskin dengan harta hasil curian) dapat dibenarkan? Apalagi dianggap sebagai ibadah? Bukankah ALLAH itu Maha Baik dan tidak akan menerima kecuali yang baik?
Lalu di mana letak persamaan da’wah lewat film dengan kasus ini? Di mana letak keharaman film?
Banyak sekali larangan – larangan syariah yang dilanggar dalam pembuatan film. Dalam hal ini saya menggunakan hasil pengamatan terhadap “film – film da’wah” (dan “sinetron – sinetron da’wah”) yang beredar di Indonesia tetapi mungkin bisa digeneralisasi untuk film da’wah pada umumnya (meski pun mungkin ada yang tidak demikian).
Pertama, kita tahu bahwa film selalu berusaha menyajikan suatu cerita senyata mungkin hingga seolah itu merupakan sebuah kenyataan. Para pemainnya pun dituntut untuk memerankannya senatural mungkin. Termasuk jika yang dikisahkan itu kehidupan keluarga (yang terdiri atas perempuan dan mahramnya) atau kehidupan suami istri. Dalam kehidupan nyata, bercengkerama antar anggota keluarga adalah sesuatu yang wajar, tidak haram. Bersentuhan antara suami – istri adalah hal yang dibolehkan. Namun, bagaimana jadinya jika fragmen kehidupan ini difilmkan? Apakah pemerannya adalah betul – betul satu keluarga atau suami istri? Bukankah fragmen kehidupan ini menjadi haram jika diperankan? Selain itu, dalam kehidupan nyata, seorang perempuan boleh menanggalkan jilbabnya di rumah dan hanya di depan mahram (atau sesama perempuan lainnya). Dalam film, tidak jarang aktivitas perempuan di dalam rumah ikut difilmkan dan untuk membuat film tersebut tampak nyata, aktrisnya pun dituntut untuk membuka aurat yang seharusnya hanya boleh ia lakukan di depan mahramnya. Bukankah ini berarti dalam pembuatan film ada keharaman?
Kedua, kita tahu bahwa interaksi laki – laki dan perempuan non mahram hanya diperbolehkan dalam da’wah, pendidikan, dan muamalah lainnya. Kita pun tahu bahwa dalam latihan sebelum take adegan, selalu terjadi interaksi laki – laki dan perempuan di luar hal – hal yang diperbolehkan tersebut. Bahkan, seringkali terjadi ikhtilath. Bukankah ini juga berarti ada keharaman dalam pembuatan film?
Ketiga, ketika objek da’wah (dalam hal ini penonton) menonton film yang diproduksi dengan banyak keharaman, mereka pun harus menyaksikan adegan – adegan haram tersebut. Bahkan bagi penonton laki – laki, ia menjadi tidak bisa menjaga pandangannya. Bukankah ketika ia menonton “film da’wah” itu berarti ia pun harus melihat aurat perempuan yang bukan haknya? Lagi – lagi, kembali harus saya tanyakan bukankah ini juga menunjukkan bahwa ada keharaman dalam film?
Jika demikian, berapa banyak keharaman yang terjadi dalam berda’wah lewat film? Lalu, bisakah ini dianalogikan dengan kasus menyantuni fakir – miskin dengan harta hasil curian di atas?

2. Efeknya Tidak Banyak dan Tidak Lama
Mungkin benar, AAC dan “film da’wah” lainnya berhasil menyampaikan beberapa pesan keislaman pada masyarakat dan sedikit mempengaruhi masyarakat. Namun, mari kita lihat berapa lama pengaruh itu dapat bertahan? Saya yakin tidak akan lama. Kenapa? Karena film hanya menyampaikan sekilas dan itu pun hanya menyentuh perasaan penontonnya saja, tidak menyentuh akalnya apalagi keimanannya. Bagaimana mungkin akan menyentuh akal dan keimanan jika tidak disampaikan alasan kenapa tidak boleh begini dan harus begitu?! Ketika ada beberapa penonton mengubah sikap atau perilakunya setelah menonton film, itu karena perasaannya mengatakan bahwa sikap atau perilaku tersebut baik, seperti dalam film. Bukan karena ia memahami dan meyakini bahwa itu dperintahkan oleh ALLAH dan Rasul – NYA. Apakah perubahan yang seperti ini akan bisa bertahan lama? Paling lama, 3 – 4 bulan setelah film dan OST-nya tidak lagi ditayangkan, mereka pun akan kembali seperti semula.
Lagi pula, efek film pun tidak begitu banyak. Jika memang film adalah media a’wah yang efektif, logikanya orang – orang yang terlibat dalam film itu seharusnya mendapatkan efek paling banyak. Namun kita lihat, bahkan para pemain utamanya pun tidak banyak terpengaruh dengan film itu. Bahkan, salah satu pemainnya mengatakan, “Inikan hanya film! Aku menjadi seperti itu, hanya tuntutan peran!”. Lihatlah, Rianti Cartwright (pemeran Aisha) tetap menjadi Rianti, tidak banyak berubah. Tidak lantas terpengaruh dengan kepribadian Aisha yang menakjubkan. Melanie Putria (pemeran Nurul) tetap menjadi Melanie Putia. Fedi Nuril pun sama, ia tidak banyak terpengaruh dengan pribadi Fahri, tokoh yang banyak membuat laki – laki berkata, “Aku ingin menjadi sosok yang shalih seperti Fahri!”.

3. Pemborosan
Silakan pembaca hitung berapa kira – kira biaya yang dihabiskan untuk pembuatan dan promosi “film da’wah” yang ternyata penuh keharaman dan tidak banyak berpengaruh! Saya dengar, katanya KCB akan difilmkan dengan anggaran biaya sebesar sekian miliar. Dana sebesar itu hanya untuk membuat film, apa tidak tabdzir (pemborosan)? Bukankah masih banyak saudara – saudara kita yang kelaparan? Tidakkah kita dengar di radio, televisi atau membaca di berbagai surat kabar betapa banyak adik – adik kita yang kekurangan gizi?
Atau jika memang dana sebesar itu diperuntukkan untuk da’wah, bukankah akan lebih berarti jika digunakan untuk menyelenggarakan kegiatan – kegiatan yang mencerdaskan masyarakat seperti seminar, training, penerbitan buletn – buletin yang membangun kesadaran, dll?

Y Cenderung Melenakan
Saya katakan cenderung melenakan karena “film da’wah” yang beredar di Indonesia masih bertemakan cinta dan bertaburan wajah – wajah yang good looking. Entah, jika suatu ketika tidak lagi bertema cinta, tetapi bertema perjuangan serta tidak lagi bertabur wajah – wajah menawan. Sebuah pengakuan jujur dari beberapa teman perempuan, ia mengatakan bahwa ia bisa berimajinasi seharian kerena AAC. Bukankah ini malah membuatnya tidak produktif?
Juga pengakuan seorang teman, sisi negatif da’wah lewat film adalah rawan membuat tipis iman kalau pemainnya cakep – cakep.

Jika demikian, masihkah film dianggap sebagai media da’wah yang efektif?





Rental ATM – Perumda
Semarang, April 18, 2008
11.30 a.m.
(Setelah tertunda lebih dari 2 pekan dan dengan bantuan ide jarak jauh dari seorang teman)


Haafizhah Kurniasih

1 Comments:

At 6:28 AM, Blogger BAMBANG HANDOKO said...

nice post.. tkeran link ya! www.bpi06.blogspot.com

 

Post a Comment

<< Home