Assalaamu'alaykum wa rahmatullaahi wa barakaatuh...

Sunday, January 14, 2007

Sebuah Renungan tentang Keegoisan

"Kalian egois!" Itulah salah satu kalimat yang sering terdengar saat kedelapan kandidat ketua OSIS menyatakan ketidaksiapan mereka menjadi ketua OSIS pada malam Gladi Taruna Gudha Kapti (GTGK) 9 September 2006 lalu. Ya, keegoisan merupakan salah satu sifat yang pasti ada pada diri manusia, siapa pun dia. Kita pun memiliki sifat egois, jangankan kita, seorang yang sangat baik dan berbudi pekerti luhur pun punya rasa egois. Hanya saja kadarnya berbeda.

Meskipun kita tahu bahwa setiap manusia memiliki rasa egois, bukan berarti itu bisa kita gunakan untuk menjustifikasi keegoisan kita selama ini karena kita pun telah sepakat bahwa keegoisan merupakan sesuatu yang buruk. Bukankah kita juga muak pada orang yang selalu bersikap egois dan mau menang sendiri? Bukankah kita juga enggan berteman dengan orang yang egois?

Suatu ketika aku pernah mendengar curhatan seorang teman, sebut saja Xxx. Dia teman sekolahku. Saat itu dengan kekesalan yang memuncak dia menceritakan keegoisan teman sebangkunya, sebut saja Yyy. "Gimana ya Fi? Aku sebel banget sama dia. Dia itu selalu mau menang sendiri. Pokoknya dia itu egois banget dech. Aku capek kalau kayak gini terus!" begitu katanya. Menurut Xxx, teman sebangkunya itu selalu menggunakan standar ganda yang bisa berubah setiap saat sehingga Yyy selalu pada posisi yang diuntungkan. Saat itu, Xxx memberi contoh bahwa Yyy itu "sok idealis" dengan tidak mau bekerja sama dalam mengerjakan ulangan atau PR (maaf, aku tidak terlalu ingat kata – katanya, PR atau ulangan. Tapi kita sepakati saja bahwa yang Xxx maksud adalah PR atau tugas karena aku juga tidak setuju kalau harus bekerja sama dalam ulangan) saat dia yakin bahwa dia benar – benar mampu menyelesaikannya sendiri, dan dia tidak peduli (tidak mau membantu) pada orang lain yang membutuhkan bantuannya. Tapi ketika dia tidak yakin akan kemampuannya menyelesaikan tugas itu sendiri, dia akan mencari bantuan ke sana ke mari, bahkan segala cara ia tempuh untuk itu. Selain itu—masih menurut Xxx—Yyy selalu memanfaatkan orang lain demi kepentingannya sendiri.

Di saat yang lain, temanku yang lain uring – uringan karena ia menganggap teman – teman sekelasnya berlaku sangat egois. Masing – masing dari mereka sibuk cari muka di hadapan para guru tanpa peduli pada yang lain, bahkan tak jarang menjatuhkan yang lain.

Dua kisah di atas hanyalah sedikit dari sekian banyak ekspresi manusia menghadapi manusia lain yang bersikap egois. Rasanya dua contoh di atas cukup memberikan gambaran bahwa keegoisan kita tak jarang membuat orang – orang di sekitar kita merasa tidak nyaman. Jika demikian, lantas kenapa kita seringkali bersikap egois? Kenapa kita menjadi orang yang kita benci?

Tanpa kita sadari, kita pun sering berada pada posisi sebagai orang yang egois. Tanpa kita rasa, kita sering pada posisi orang yang kita benci. Bukankah keegoisan berarti "mementingkan diri sendiri pada porsi yang berlebih sehingga kita cenderung mengabaikan orang lain"? Jika kita menyepakati definisi ini, mari kita renungkan sikap kita selama ini!

Dari contoh yang sangat kecil, yang mungkin selama ini kita tak merasa bahwa itu merupakan suatu bentuk keegoisan. Sebagai Muslim, tentunya kita pernah shalat di masjid. Kita ambil contoh ketika kita shalat sunnah di masjid, dhuha misalkan. Karena tidak ada keharusan untuk berjamaah, umumnya kita mengambil posisi seenaknya. Yang paling sering terjadi adalah kita mengambil tempat di tengah atau di belakang, padahal di depan masih kosong. Ya, tidak berdosa memang. Dan juga tidak akan memberikan dampak negative apa pun jika saat itu hanya kita sendiri yang memanfaatkan masjid itu. Tapi bagaimana jika pada saat yang sama ada banyak saudara kita yang lain yang juga akan shalat dhuha sehingga tempat di belakang kita shalattidak cukup menampung mereka? Bukankah mereka tidak mungkin melangkahi kita untuk mengambil tempat di depan kita karena ada larangan untuk lewat di depan orang shalat? Bukankah Rasulullah saw bersabda "Sekiranya orang yang berlalu di hadapan orang yang shalat itu mengetahui apa yang akan menimpanya, niscaya untuk berhenti selama 40 tahun adalah lebih baik baginya dari pada berlalu di hadapannya (orang yang sedang shalat tersebut –red)" (HR. Bukhari)?

Astaghfirullaah… dalam shalat pun kita sering kali melanggar hak orang lain. Betapa egoisnya kita. Astaghfirullaah… ampuni kami Ya… Rabb!

Masih perlu contoh lain tentang keegoisan kita? Pernah kita mendengar atau membaca tentang penderitaan saudara – saudara seiman kita? Apa komentar kita ketika mendapat informasi bahwa kaum Muslimin di Poso dianiaya, dirampas haknya, dilecehkan? Sebatas "Ooo…" atau mungkin "Ooo, gitu ya?Ya…untunglah di sini baik – baik saja." dengan ekspresi yang datar? Yang lebih parah lagi ketika kita menyaksikan penderitaan saudara – saudara seiman kita di Palestine, Iraq, serta negeri – negeri Muslim yang lain diraniaya, direnggut kehormatannya, dirampas hartanya, diperkosa hak – haknya, sering kali kita hanya terdiam, tak peduli. Pernah ada seorang Muslim berkomentar, "Halah.., ngurusi koq orang – orang yang di luar sana. Di sini aja masih banyak persolan. Sudahlah, yang penting kita bisa makan, bisa hidup dengan enak. Ga usah pusing – pusing mikirin yang jauh – jauh! Toh, mereka juga sudah ada yang ngurus!" ketika menyaksikan semua itu.

Astaghfirullaah…sejak kapan persaudaraan kita terhalang oleh ruang dan waktu? Sejak kapan persaudaraan kita terkotak – kotak oleh wilayah oleh negara? Persaudaraan kita tak terhalang oleh ruang dan waktu, tak terpisahkan oleh batas – batas negara apa lagi kebangsaan. Selama mereka Muslim dan kita pun Muslim, kita dan mereka tetap bersaudara. Penderitaan mereka adalah penderitaan kita juga! Bukankah ajaran Islam tentang persaudaraan adalah: "seorang Muslim dan Muslim lainnya bagaikan satu tubuh, jika yang satu sakit, maka yang lainnya akan merasakan sakit yang saman"? Tidak ada ketentuan kita harus sebangsa!

Memang, tangan – tangan kecil kita ini tak bisa berbuat banyak untuk mereka karena memang kita tak punya kekuatan untuk menghimpun tangan – tangan kecil ini sehingga menjadi sebuah kekuatan yang besar dan sanggup menolong mereka. Tetapi setidaknya sisakan sedikit kepedulian untuk mereka, saudara kita. Jangan sampai keegoisan ini menutup mata dan telinga kita dari rintihan mereka. Setidaknya doakan mereka selalu tabah menghadapi semua ini. Doakan mereka semoga mereka lulus dalam menghadapi ujian keimanan yang mereka alami.
Satu contoh lagi. Pernahkah Anda mencontek saat ulangan / ujian? Jika ya, maka berarti kita pun telah menemukan satu lagi bentuk keegoisan yang pernah kita lakukan. (Kali ini kita hanya membahas contek – mencontek dari segi keegoisan, tidak dari segi kejujuran apa lagi hukum Syara’). Saat kita mencontek, sadarkah ada berapa banyak hak orang lain yang kita rampas? Hanya demi terpenuhinya keinginan kita untuk mendapatkan nilai yang memuaskan kita merampas begitu banyak hak orang lain! Pertama, kita merampas hak pesarta lainnya untuk mendapatkan ketenangan saat ulangan / ujian berlangsung. Kedua, kita merampas hak orang yang kita mintai contekan untuk mendapatkan ketenangan dan waktu yang cukup untuk mengerjakan semua soal yang ada. Bukankah ketika kita mencontek berarti kita mengganggu orang yang kita mintai contekan dan mengurangi waktu yang ia miliki? Bahkan mungkin juga membuyarkan konsentrasinya. Ketiga, kita merampas hak orang tua kita untuk mengetahui sejauh mana kemampuan anaknya. Bukankah nilai ulangan / ujian seharusnya menjadi tolok ukur kemampuan kita dibidang yang diujikan? Ketika nilai itu kita tunjukkan kepada orang tua kita, seharusnya orang tua kita mengetahui kemampuan kita, tetapi ternyata nilai itu palsu sehingga hak mereka untuk mengetahui kemampuan kita pun terampas.

Merampas hak orang lain demi terpenuhinya keinginan kita semata. Bukankah itu merupakan wujud keegoisan? Jika demikian, bukankah bisa disimpulkan bahwa mencontek adalah sebuah keegoisan?

Saudaraku…, terkadang kita sangat gampang memvonis orang lain telah berlaku egois. Bahkan, sering kali kita membenci orang – orang yang kita anggap egois tersebut. Padahal tanpa kita sadari, kita pun sering melakukan hal yang sama. Keegoisan demi keegoisan sering kali kia praktekkan tanpa kita merasa bahwa kita telah melakukan sebuah keegoisan.

Benar, keegoisan pasti dimiliki oleh setiap manusia. Sesempurna apa pun dia karena tak ada satu manusia pun di dunia ini yang bisa telepas dari sifat buruk, termasuk egois. Tapi… itu tidak bisa kita jadikan alat justifikasi atas keegoisan kita. Kita harus tetap berusaha untuk meminimalisasi sifat egois yang ada dalam diri kita. Bukankah sebagai seorang Muslim kita harus senantiasa tunduk dan patuh pada syari’ah – NYA? Bukankah kita dituntut untik bisa mengendalikan diri kita agar setiap tindakan kita sesuai dengan apa yang diajarkan Rasulullah saw, sosok manusia sempurna yang seharusnya menjadi teladan kita?



Monday, January 15, 2007
02.00 a.m.
(Ngantuk neech….)

Yang tengah berusaha mengendalikan diri agar sesuai dengan tuntunan ISLAM
Neila Zahra.




Untuk teman – teman OSIS, terima kasih atas pelajaran yang kalian berikan tentang keegoisan.
Untuk ID dan Mba IF!, terima kasih telah menjadi teman diskusi yang menyenangkan.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home