Assalaamu'alaykum wa rahmatullaahi wa barakaatuh...

Thursday, March 27, 2008

Koruptor = Korban Politik?

Banyak pelaku korupsi mengaku bahwa dirinya hanyalah korban politik ketika kasusnya terbongkar. Mereka mengaku bahwa “tuduhan” keterlibatan mereka dalam berbagai kasus korupsi merupakan bagian dari upaya penguasa untuk menyingkirkan rival – rival politiknya atau sebagai tindak balas dendam. Kinerja KPK pun dinilai sangat bergantung pada ada atau tidaknya tekanan politik yang memaksanya mengusut kasus dugaan korupsi.
Penyebab Korupsi

Terjadinya banyak kasus korupsi di negeri tidak terlepas dari pengaruh ideology yang dianut serta buruknya sistem dan aturan yang diterapkan. Apa kaitan antara ideology dan korupsi?
Diakui atau tidak, negeri ini telah lama menganut Kapitalisme sebagai ideologinya. Dalam pandangan ideolgi Kapitalisme ini, kekayaan materi adalah segalanya. Ukuran kebahagiaan pun ditentukan dari banyaknya materi (harta) yang terkumpul. Karena bahagia berarti memiliki banyak materi (harta), maka orang pun akan berlomba – lomba untuk mengumpulkan harta sebanyak – banyaknya. Ditambah lagi, Kapitalisme selalu bergandengan erat dengan Secularism, yaitu paham yang memisahkan agama dari kehidupan. Dalam paham ini, agama boleh ada tetapi tidak boleh digunakan untuk mengatur urusan yang terkait dengan kehidupan dunia, misalnya cara memperoleh dan mempergunakan harta, sistem pendidikan, dst. Karena agama telah dipisahkan dari kehidupan dunia—yang berarti tidak ada halal – haram dalam kehidupan dunia (termasuk mencari harta)—, maka orang – orang pun akan semakin berlomba – lomba mengumpulkan harta tanpa peduli pada aturan agama. Pengabaian terhadap aturan agama ini, nantinya akan melahirkan pengabaian nilai – nilai yang lain, termasuk moral. Akhirnya, segala cara pun ditempuh untuk mengumpulkan harta sebanyak – banyaknya, termasuk korupsi, penipuan, dll.

Buruknya ideology yang dianut diperparah dengan sistem aturan yang diterapkan, yaitu demokrasi. Sebagaimana diketahui bersama bahwa asas demokrasi adalah kedaulatan berada di tangan rakyat. Hal ini berarti kehendak rakyatlah yang harus dituruti. Telah jamak bahwa kehendak rakyat selalu diterjemahkan dengan suara mayoritas rakyat. Dalam hal menentukan penguasa pun, suara mayoritas rakyatlah yang dijadikan acuan. Aturan inilah yang berlaku dalam pemilu. Sehingga, untuk bisa terpilih menjadi penguasa negeri ini, harus memenangkan suara mayoritas rakyat. Dan parahnya, rakyat kita telah silau pada materi (karena pengaruh ideology Kapitalisme yang dianutnya) sehingga rakyat cenderung memilih orang yang memberikan keuntungan materi padanya. Akhirnya, muncullah money politic. Akibat money politic ini, maka siapa pun yang ingin berkuasa di negeri ini harus mengeluarkan cukup modal untuk “membeli” suara rakyat.

Karena untuk menduduki kursi kekuasaan diperluka modal yang besar, maka ketika seseorang berkuasa ia akan berfikir bagaimana agar modal yang ia keluarkan segera kembali. Akhirnya, ia tidak lagi memikirkan kesejahteraan rakyat, apalagi kemajuan negeri. Yang ia pikirkan adalah bagaiaana ia dapat mengumpulkan harta sebanyak – banyaknya. Karena ia seorang penganut Kapitalisme yang “bersahabat” erat dengan Sekularisme, maka ia pun akan menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya, termasuk korupsi. Maka wajar jika kasus korupsi semakin merajalela dan pelakunya sama sekali tidak merasa bersalah karena memang begi mereka segalanya adalah halal. Bahkan, ketika kasus itu mencuat ke permukaan dan mereka harus diseret ke pengadilan, mereka menganggap bahwa mereka adalah korban politik—seperti yang diungkapkan dalam Suara Merdeka edisi Sabtu, 17 November 2007—, lebih tepatnya korban penguasa.

Kenapa dikatakan wajar? Karena siapa pun yang berkuasa selama ideology yang dianut masih Kapitalisme dan sistemnya adalah demokrasi, maka yang ia pikirkan adalah bagaimana ia bisa mengumpulkan materi sebanyak – banyaknya tanpa peduli pada halal – haram. Sehingga korupsi pun akan ia lakukan. Di sisi lain, rakyat mulai merasakan akibat buruk dari korupsi yang dilakukan penguasa sehingga rakyat menuntut agar penguasa mengusut tuntas kasus korupsi. Bagai mana mungkin seorang penguasa akan mengusut tuntas kasus korupsi jika ia terlibat di dalamnya? Maka, untuk membodohi rakyat, mereka mengusut kasus korupsi yang dilakukan oleh orang – orang yang sudah tidak lagi berkuasa atau yang dilakukan oleh rival – rival politiknya.

Sehingga, selama Kapitalisme dan Demokrasi masih diterapkan di negeri ini, korupsi dan berbagai penyelewengan lainnya akan terus ada.

Solusi Islam
Keadaan ini—insya ALLAH—tidak akan terjadi jika ideology yang dianut negeri ini adalah Islam dan sistem aturan yang diterapkan pun sistem Islam. Kenapa?
Dalam ideology Islam, ukuran kebahagian bukanlah banyaknya materi yang terkumpul—seperti dalam Kapitalisme—melainkan tercapainya ridha ALLAH. Maka, penganut ideology Islam tidak akan berlomba – lomba mengumpulkan materi sebanyak – banyaknya dengan segala cara, tetapi akan berlomba – lomba untuk menggapai ridha ALLAH dan ridha ALLAH tidak akan didapat kecuali dengan melaksanakan syariah – NYA (syariah Islam) dengan penuh keimanan dan keikhlasan. Mungkin ada yang bertanya “apakah ada jaminan jika syariah Islam dilaksanakan tidak akan memicu terjadinya korupsi dan tindakan buruk lainnya?”

Insya ALLAH jika negeri menganut ideology Islam—yang menyandarkan segala sesuatunya pada halal dan haram menurut syariah—dan menerapkan syariah Islam kemungkinan terjadinya korupsi atau tindak penelewengan lainnya sangat kecil. Karena syariah Islam adalah syariah (aturan) yang datang dari Sang Pencipta segala sesuatu. Syariah yang datang dari Dzat Yang Mengetahui segala sesuatu, termasuk potensi jahat yang ada pada diri manusia. Sehingga, di dalamnya telah ada upaya pencegahan dari tindak penyelewengan yang mungkin dilakukan manusia. Misalnya dengan diberikan sanksi yang tegas pada kasus pencurian yang melebihi ¼ dinar (1 dinar setara dengan 4,25 gram emas murni) dengan alsan yang tidak bisa ditoleransi—yaitu potong tangan—. Hal ini akan menimbulkan efek jera bagi pelakunya dan menimbulkan efek takut melakukannya bagi orang lain.

Selain itu, pencegahan juga dilakukan dengan imbalan surga bagi orang – orang yang melaksanakannya dengan baik dan ancaman siksa neraka bagi para pelanggarnya. Sepintas, mungkin imbalan surga dan ancaman neraka adalah sesuatu yang bisa dianggap angin lalu. Benar, surga dan neraka bisa dianggap angin lalu bagi mereka yang tidak menganut ideology Islam. Tetapi bagi penganut ideology Islam, janji imbalan surga adalah sesuatu yang sangat diimpikan sehingga akan mendorong penganut ideology Islam ini untuk sekuat tenaga untuk meraihnya dengan melaksanakan syariah Islam. Sementara ancaman siksa neraka adalah sesuatu yang sangat mengetarkan dan menakutkan sehingga para penganut ideology Islam akan berusaha sampai tetes darah penghabisan untuk menghindarinya. Kedua hal ini akan mendorong para penganut ideology Islam untuk menerapkan syariah Islam dengan sebaik – baiknya dengan harapan tercapainya ridha ALLAH—itulah kebahagian menurut para penganut ideology Islam—yang berujung pada nikmatnya surga dan terhindar dari siksa neraka.

(Mohon maaf, detil syariah Islam tidak bisa penulis paparkan di sini karena akan terlalu panjang. Pembaca bisa merujuk pada kitab – kitab fiqh Islam untuk mengetahuilebih detil bagaimana Islam mengatur kehidupan ummatnya)

Sementara itu, sistem Islam berbeda dengan sistem Demokrasi. Dalam sistem Islam, kekuasaan memang berada di tangan rakyat, tetapi kedaulatan ada di tangan syara’ (syariah). Artinya, kehendak rakyat bukanlah segala – galanya. Kehendak rakyat tidak harus dituruti jika kehendak itu bertentangan dengan al – Quran, as – Sunnah, serta apa – apa yang ditunjuk oleh keduanya untuk diikuti. Sehingga, dalam penentuan penguasa (pejabat negara) pun, yang dijadikan tolok ukur bukanlah suara mayoritas, melainkan kemampuan dan keshalihan seseorang. Pemilu memang boleh dilaksanakan, tetapi kalau pun dilakukan pemilu—insya ALLAH—tidak akan terjadi money politic karena rakyat tidak silau pada harta. Dan orang – orang pun tidak akan berebut kursi jabatan karena mereka sadar bahwa jabatan adalah suatu amanah yang akan dimintai pertanggungjawabannya kelak di akhirat. Jabatan tidak dianggap sebagai sesuatu yang membanggakan atau ladang untuk meraup materi—seperti anggapan para penganut ideology selain Islam—. Sehingga, ketika menjabat, yang ia pikirkan adalah bagaimana agar ia dapat melaksakan amanah yang ia emban sebaik – baiknya sehingga ia dapat mempertangungjawabkannya kelak di akhirat, bukan memikirkan bagaimana agar “modal” yang ia keluarkan dalam pemilu segera kembali. Akhirnya, ia terhindar dari korupsi serta tindak penyelewengan lainnya dan rakyat pun menjadi sejahtera karena penguasanya amanah.

Inilah indahnya Islam. Dan ini bukanlah khayalan atau konsep yang belum pernah terlaksana. Hal ini benar – benar telah terlaksana selama belasan abad sejak Rasulullah shalallahu ‘alaihu wa salam mendirikan Negara Madinah hingga berakhirnya kekhilafahan Islam di Turki pada tahun 1924 M. Pembaca bisa merujuk pada sejarah dunia Islam yang ditulis secara jujur untuk mengetahui bagaimana indahnya kehidupan masyarakat yang menganut ideology Islam dan menerapkan aturan Islam.

Tidakkah kita ingin merasakan kembali keindahan itu?
Belum tergerakkah hati kita untuk segera menerapkan Islam?


Ditulis
Semarang, January 19, 2008
10 Muharram 1429

Direvisi
Tegal, February 21, 2008
14 Shafar 1429

Haafizhah Kurniasih

0 Comments:

Post a Comment

<< Home